Laman

Minggu, 01 Januari 2012

Pinta Cinta


“Ya Rabbi berulangkali kusandarkan diriku pada senyum selain senyumMu, akankah diriku Kau ampuni? Bila rebah hati oleh sepi duniawi, sedang terlalu jauh rindu ini untuk menjangkau haribaanMu, salahkah bila kuletakkan asa pada sejumput kenikmatan inderawi dunia yang kutemui di tepian perjalananku? Ketika fajar menyingkap kabut, dan kutemui hiruk pikuk duniawi yang sesungguhnya membosankan, aku sering tertancap dalam riuh rendah itu. Tak habis-habisnya. Bahkan lalai telah menjadi keseringanku. Aku terlalu sering terlena, dan memisahkan diri dari senyumMu.”

“Astaghfirullah, kiranya istighfar setiap saat pun belum akan menghapus khianat hati ini terhadapMu. Kesalahanku telah menjulur jauh melampaui cintaku padaMu yang cuma sepenggal, sementara curahan kasihMu terlimpah kepadaku tak akan dapat terukur, bahkan dengan jumlah keseluruhan seluruh makhlukMu. Khilafku menjulang melampaui yang dapat kuperkirakan, sementara maafMu melebihi segala yang kuharapkan, padaku dan kepada seluruh makhlukMu. Bagaimana aku tidak bersyukur karena diriMu telah rela untuk kumiliki?”

“Rabbana dhalamna anfusana, fainlam taghfirlana watarhamna lanakunanna minal khasirin. Wahai Tuhanku, telah aku dzalimi diriku sendiri. Maka jika tiada Kau ampuni dan rahmati aku, sesungguhnya aku akan menjadi orang-orang yang benar-benar merugi selama-lamanya.”

Semesta mengangguk lirih. Malaikat hanya dapat bertasbih memujiNya dan memohon ampunan bagi seluruh semesta. Sedangkan di ujung sana, tarian para iblis menggoda dan merayu para jin dan manusia.

“Meski sesungguhnya telah kau tutupi keindahan duniawi dengan keagunganMu yang tanpa pernah habis, nafsu hati ini selalu mencari celah untuk mengintip keindahan semu yang sengaja Kau tunjukkan sebagai penguji cinta para kekasihMu. Celakanya, Ya Allah, aku sering termangu menatap mereka dan melupakan kehadiranMu yang selalu abadi. Adakah Kau tersinggung? Ataukah tersenyum sinis demi melihat perbuatanku? Apapun itu, Ya Habibi, ucapkanlah dengan bahasa yang mampu kupahami. Aku rindu ucapanMu, belaianMu dan teriakan-teriakanMu di samping kedua kupingku yang kian menuli. Agar kembali penuh hiasan hati ini oleh diriMu. Aku merindukanMu, Tuhan, sangat merindukan saat-saat kita saling berbelai dan berbagi segalanya. Saat aku terpekur haru mendengar lintasan-lintasan hikmah yang sengaja Kau dendangkan. Saat kuterisak dan menangis meronta ketika Kau tunjukkan kelalaian-kelalaian diriku terhadapmu. Dan kita berpeluk indah dalam kesyahduan suasana cinta yang Kau ciptakan. Ah, aku selalu merindukan untuk menghabiskan waktuku dalam merenda cinta seperti itu, hanya bersamaMu.”

“Ah, Engkau… Segera akan habis pena ini kutuliskan hanya untuk memujiMu, bahkan sekiranya aku mampu menjadikan seluruh air di semesta ini sebagai tintanya. Padahal, puji itu belum akan menyentuh diriMu. Segera akan penuh segala bentuk lembaran yang ada di semesta untuk mengisi curahan keagunganMu. Namun, keagunganMu pun belum akan dapat kusentuh dengannya.”

“Sebagaimana tak akan cukup bila tercabut seluruh gunung di muka bumi untuk menimbun lubang kerusakan akibat perbuatanku. Tak akan cukup lembaran-lembaran kertas di semesta ini hanya untuk menulis kalimatMu. Maafkan aku yang menyederhanakanMu dalam jiwa dan otakku yang semakin rapuh dan tumpul dari rahmatMu. Ampuni aku yang sering bersempit hati dalam menampung kasih sayangMu yang tak akan pernah tertampung. Maafkan dan ampuni aku.”

“Tiada lain kecuali, Engkau.”

“Laa ilaha illa Anta.”

“Hanya Engkau.”

“Laa ilaha illa Anta, subhanaKa, inni kuntu minadh-dholimien.”

Segala makhluk menengadahkan tangan mereka, meminta kepada Dzat yang akan merasa malu kepada diriNya sendiri jika tiada membalas setiap pinta yang dialamatkan kepadaNya.

“Tapi, Tuhan. Bilamana kau pilihkan untukku seorang Mahkota yang akan kusanding menuju diriMu? Yang tiada lain maksud kami selain Engkau. Tiada lain pelindung kami selain Engkau, dan tiada lain tujuan kami selain Engkau. Seperti ketika Adam membutuhkan Hawa demi tetap istiqamahnya batinnya dalam memuji nikmatMu. Juga ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasalam menginginkan Khadijah demi tetap tegar menyelimuti dirinya tatkala berjuang menegakkan KalimatMu. Maka telah Engkau karuniai mereka kemuliaan atas kami semua. Sebagaimana akan Kau karuniai kami kemuliaan atas makhlukMu yang lain.”

“Dia, Allah, bilakah ia akan menjadi cahaya atas hidupku? Bilakah ia akan menjadi pengingat bila diriku lalai dariMu? Bilakah ia akan kuingatkan jika ia lalai dari tugasnya sebagai abdiMu? Bilakah kami akan berbasuh muka bersama, bersaksi, merunduk dan mencium kakiMu bersama-sama di setiap lorong waktu yang kami jalani. Aku membutuhkannya bila malamku hanya terisi oleh buaian mimpi, seperti ia membutuhkanku saat gelisah menjadi selubung gelap atas keceriaannya.”

“Pertemukan kami, Ya Allah…, sebagaimana Engkau telah pertemukan Adam dan Hawa di Padang Pertemuan Arafah yang penuh sejarah, yang kini telah mempertemukan seluruh manusia dari penjuru dunia. Sebagaimana telah Engkau pertemukan Khadijah dengan rasulMu di perniagaan dunia, yang membawa mereka pada mahligai suci di sisiMu. Kembalikan niat kami selalu, tak lain untuk menjalankan tugas kami seperti yang Engkau inginkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar